Latest Supplement

Maka, Nikmat Allah Manakah yang Kamu Dustakan?

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
(Ar Rahmaan [55]: 65)

Sahabat. Allah, Dia-lah Dzat yang membuat kita ada. Menjadikan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Dilebihkan dari kebanyakan makhluk. Dianugerahi fisik yang sempurna. Ada akal yang membuat unggul manusia dari hewan. Ada nafsu sebagai pembeda dengan malaikat. ”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Al-Israa’ [17]: 70)
Begitulah. Allah juga melengkapi manusia dengan panca indera. Sehingga lebih mudah menunaikan misi kekhalifahannya. “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua bibir.” (Al-Balad [90]: 8-9). Meski demikian ternyata indahnya kata syukur yang begitu mudah terucap belum juga mewujud dalam perbuatan nyata. Kita justru lebih sering mendustakan nikmat Allah. Menggunakan nikmat yang telah diberikan itu untuk perbuatan yang tidak semestinya.
Kemudian Allah memberikan dua pilihan dengan semua nikmat yang itu. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Al-Balad [90]: 10). Allah memberi kebebasan. Memilih antara dua jalan. Kebenaran dan kesesatan. Kebajikan dan kejahatan. Tentu dengan konsekuensi masing-masing. Kebenaran dipenuhi onak dan duri yang selalu menghadang. Jalan terjal berliku yang menyusahkan. Kepedihan dan kepahitan menjadi cobaan yang mesti dihadapi. Tetapi ujungnya adalah kebahagiaan tiada batas. Surga dan keridhaan-Nya.
Orang yang menempuh jalan kebenaran, menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh perjuangan memerangi hawa nafsunya. Mereka berusaha meredam keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan aturan Allah. Bergerak sesuai aturan Allah. Bertindak dengan hukum-hukum Allah. Hingga seolah mereka berada dalam ‘penjara’ karena harus terus berjuang mengendalikan hawa nafsu. Rasulullah menjelaskan “Surga itu dikelilingi hal-hal yang tidak disukai dan neraka itu dikelilingi berbagai syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagi yang memilih kesesatan. Ada kenikmatan sementara yang terasakan. Kemudahan yang menipu akan diperoleh. Semuanya sesaat. Seumur hidup yang bagi Allah tidak sampai hitungan satu hari. Sebagai gantinya siksa pedih dan api menyala-nyala. Neraka sepanjang masa. Merekalah golongan yang mendustakan nikmta Allah dan enggan mensyukuri apa yang telah dikaruniakan Allah. Padahal jika mereka pikirkan, maka sesungguhnya nikmat Allah itu tidak akan pernah mampu mereka menghitungnya.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (Luqman [31]: 20)
Semua kembali kepada manusia. Kelebihan, keunggulan dan keutamaan bisa menjadikan seorang semakin berbakti dan bersyukur kepada Allah, seperti Nabi Sulaiman yang dianugerahi berbagai kenikmatan dan kelebihan harta benda dan kedudukan yang tinggi. Dan kekayaannya tersebut digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Nabi Yusuf yang dianugerahi paras tampan, dia selalu bersyukur kepada Allah dan tidak menggunakan ketampanannya itu untuk bermaksiat kepada Allah. Nabi Ibrahim diberikan nikmat berupa keturunan-keturunan yang shaleh, tetapi semua itu tidak lantas memalingkan hatinya dari Allah. Ia selalu bersyukur kepada Allah dengan mendidik mereka untuk taat kepada Allah, bahkan ketika Allah menguji dengan perintah untuk mengurbanan Ismail, Nabi Ibrahim pun melaksanakannya.
Tetapi terkadang kenikmatan juga bisa justru melemahkan, melalaikan dan melenakan kita. Menyebabkan seseorang menjadi menuju kehancuran dan kehinaan. Bahkan kenikmatan tersebut kerap kali membuat seseorang menjadi sombong. Fir’aun yang diberi kenimatan berupa kedudukkan tingga di hadapan manusia, ternyata justru menyombongkan diri dan mengaku dirinya sebagai tuhan. Karun yang diberikan kelebihan harta benda duniawi, kemudian malah semakin jauh dari Allah dan pada puncaknya mengingkari nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Begitu juga Samiri, seorang Bani Israel dari suku Assamirah yang juga termasuk kaum Nabi Musa, dia menggunakan kelebihannya untuk menyesatkan manusia. Dan akhir dari kehidupan mereka sungguh menyedihkan. Fir’aun ditenggelamkan Allah di Laut Merah, sedangkan Karun ditimbun tanah beserta seluruh harta kekayaannya. Itu baru siksa dunia, sedangkan bagi orang yang kafir mereka juga akan mendapat siksa pedih.
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim [14]: 7)
‘Ali bin Abi Thalib ra, juga pernah mengatakan, “Sesungguhnya nikmta itu dapat tercapai karena syukur, dan syukur bergantung kepada tambahan. Nikmat dan syukur ini merupakan sebuah pasangan. Tambahan yang berasal dari Allah tidak terputus kecuali jika syukru hamba terputus.” Demikian nasihta ‘Ali sebagaimana ditakhrij oleh Baihaqi
Sahabat. Sudahkah kita mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tiada pernah terkihingga? Kita merasa sudah bersyukur padahal kita masih jauh dari jalan-Nya, dari syariat yang telah ditetapkan-Nya. Dan malas untuk berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah. Apakah dinamakan bersyukur bila lidah senantiasa menggumamkan taubat. Sedang maksiat terus kita perbuat? Apakah dinamakan bersyukur jika sebagian besar waktu hanya kita habiskan untuk kesiaan? Apakah dinamakan bersyukur bila hari-hari lebih sering kita lalui tanpa perbaikan diri? Apakah dinamakan bersyukur jika untuk bersedekah saja kita masih merasa berat? Padahal semua milik Allah.
Apakah bukan mendustakan nikmat Allah jika kita selalu mengukur rizki yang diberikan Allah hanya dari segi materi? Padahal nikmat-Nya yang lain begitu melimpah tidak berputus. Apakah bukan dinamakan mendustakan nikmat Allah jika lidah kita mengucap syukur padahal hati kita masih terus merasa kekurangan? Kita seringkali merasa iri bila ada teman, tetangga atau saudara yang merasakan kebahagiaan.
Sekarang, mari tanyakan pada diri kita manakah yang akan kita pilih. Bersyukur kepada Allah lalu bertetap hati memilih jalan yang lurus, penuh kebenaran, dan kebaikan meski sukar atau sebaliknya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Al-Balad [90]: 10-12).
Masing-masing golongan itu akan menerima balasan dari perbuatan mereka selama di dunia. Mereka yang mengakui nikmat Allah dan mensyukurinya akan mendapatkan surga. Sedangkan orang yang mendustakan dan kufur terhadap nikmat Allah, mereka dilemparkan ke dalam neraka. Allah menyuruh kita untuk merenungkan dan memikirkan mana di antara kedua dolongan itu yang lebih baik.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Fushilat [41]: 40)
Jika kita bersyukur kepada Allah, sebetulnya itu adalah untuk kebaikan kita sendiri. Karena Allah tidak akan pernah bertambah kemuliaan-Nya dengan kesyukuran kita. Begitupun tidak akan berkurang kemuliaan Allah hanya karena kekufuran kita. Termasuk bila seluruh manusia ingkar, sekali-kali tidak akan menjadikan Allah berkurang kemuliaan dan kekayaan-Nya, karena Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Mulia.
“Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (An Naml [27]: 40)
“Dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Ibrahim [14]: 8)
Orang-orang yang mengingkari nikmat Allah adalah golongan orang yang tidak beruntung. Kenikmatan yang mereka terima meskipun melimpah ruah tetapi sejatinya tidak terdapat keberkahan di dalamnya. Sebagian dari mereka, justru ditambahi nikmatnya oleh Allah, dan dengan gelimang kenikmatan itu mereka semakin jauh dari Allah. orang-orang menyangka dia mendapatkan kemuliaan dan kelebihan, padahal itu semua tidak lain hanya akan menambah kekufurannya. Inilah yang dimaksud dengan istidraj.
“Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (Luqman [31]: 24)
Sedang bagi golongan yang lain, Allah menyegerakan siksa-Nya ketika di dunia agar mereka dapat berpikir dan sadar akan kelalaiannya. Siksa tersebut dapat berupa kelaparan, kekurangan dalam hal rizki, bencana alam, penyakit, rasa takut dan sebagainya. Meskipun begitu ada juga sebagian mereka yang tetap dalam kekufuran.
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (An Nahl [16]: 112)

Biar Hati Kian Bersyukur
Dalam urusan dunia liahatlah orang yang ada di bawah mu, sedang dalam urusan akhirat lihatlah orang yang di atasmu, begitulah nasihat Rasulullah. Semua itu agar hati kita merasa tenang dan bisa mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Allah, berupa kenikmatan dunia. Jika kita diberi kelebihan, itu semua adalah dari Allah, maka gunakanlah di jalan Allah, untuk menolong orang-orang fakir miskin dan semacamnya. Hingga kita akan mendaptakan kekekalan pahala dari harta kita. Jika kita diuji dengan kekurangan maka itu juga bagian dari Allah, maka bersabarlah karena dalam sabar itu terdapat berbagai keutamaan dan pahala yang banyak.
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (An Nahl [16]: 71)
Kemudian, sekali waktu sempatkanlah berkunjung dan mengamati orang yang ada di rumah sakit, di panti asuhan, atau di tempat orang yang kesusahan, mendapatkan musibah dan semacamnya sehingga akan tumbuh rasa empatik dan syukur dengan nikmat yang masih ada pada diri kita dan tidak mereka miliki.
Perhatikanlah, dan bandingkanlah dengan diri kita keadaannya. Betapa Allah telah mengatur setiap kejadian dengan secermat-cermatnya. Mungkin kita diuji dengan kekurangan dalam hal harta benda, ketersendirian, kondisi fisik yang tidak sesuai dengan keinginan kita, tetapi Allah masih memberikan kesehatan dan kekuatan untuk beribadah kepada-Nya. Mungkin Allah membatasi rizki kita atau menguji dengan hutang yang bertumpuk-tumpuk, tetapi Allah memberikan kesehatan sehingga kita masih bisa berusaha mencari nafkah, menghadirkan orang-orang yang mau peduli dengan kita dan kita masih memiliki orang tua yang bisa menjadi tempat berbagi. Bandingkan dengan saudara kita yang tinggal di panti asuhan, mereka tidak lagi memiliki atau mengetahui ayah atau ibu mereka. Masih enggankah kita bersyukur kepada Allah?
Allah memerinthakan kita untuk selalu ingat kepada-Nya, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al Baqarah [2]: 152)
Ingat kepada Allah di waktu sedih, dan terlebih lagi di waktu senang. Di waktu kita mendapat limpahan nikmta yang mencerikan diri. Karena bila kita masih mau mengingat Allah dalam kegembiraan, Allah pasti akan mengingat kita, dan menolong kita saat kita mendapatkan kesedihan.
Sahabat. Selagi masih ada kesempatan. Mari kita berusaha sebaik mungkin menggunakan sisa umur dalam kebajikan. Meniti detik demi detik kehidupan dalam ketaatan kepada Allah. Sebelum hari penyesalan itu datang. “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul." (Al-Furqan [25]: 27)
Wallahu’alam bishawwab.

0 Response to "Maka, Nikmat Allah Manakah yang Kamu Dustakan?"