Latest Supplement

Menembus Media Massa

Media massa cetak patut kita cermati sebagai sebuah peluang. Pasca reformasi dunia penerbitan surat kabar dan majalah di negeri kita mendapat angin segar. Mereka tidak diganggu lagi dengan masalah pengurusan surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP). Mereka juga tidak takut lagi dengan adanya hantu pembreidelen. Orang bilang saat ini Indonesia menjadi surga penerbitan media massa. Karena pers memang diberi kebebasan penuh. Saking bebasnya ada sebagian justru menjadi pecundang dengan menerbitkan pers-pers yang tidak bermutu. Mereka mengandalkan seks dan kekerasan sebagai menu utama.




Ya, kemudian pers memang seperti menggeliat, mengaum, bahkan ada yang over acting, mengubah dirinya menjadi pengumpat dan pencaci-maki. Bersamaan ini pula lahir pers yang mengusung sadisme, mistik (takhayul), pornografis dan hedonisme sebagai menu utama. Tetapi kita percaya suasana kondusif bagi pertumbuhan pers seperti saat ini juga akan melahirkan (tercipta) pers yang memiliki daya kritis, penuh idealisme, mencerdaskan serta bertanggung jawab. Bukan hanya berperan sebagai social control tetapi juga tahu kapan saatnya menjadi partner of power bagi pemerintah.

Di satu sisi kebebasan pers membawa dampak negatif seperti telah disebutkan. Mereka tidak terseleksi dan bebas beredar tanpa memperhatikan umur. Namun di lain pihak banyak pula media massa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan memiliki idealisme untuk ikut mencerdaskan bangsa atau menanamkan nilai-nilai agama. Nah, ini menjadi peluang bagi para kita. Dan yang membanggakan media semacam ini banyak, kok.

Menulis di media massa membawa keuntungan tersendiri bagi para penulis. Pertama, biasanya oplah mereka cukup banyak bahkan sampai puluhan ribu. Dengan demikian hanya dengan sekali dimuat saja nama kita akan langsung dikenal banyak orang. Kedua, terbit secara berkala. Jadi banyak kesempatan bagi kita mengirim naskah tulisan ke sana. Kita bisa lebih produktif.

Ketiga, mudah mengenali gaya tulisan yang digemari. Biasanya setiap penerbit memiliki ciri khas tersendiri mengenai tulisan-tulisan mereka. Dengan demikian seorang penulis harus rajin mengamatinya. Pada media massa relatif mudah karena kita bisa melihatnya setiap kali terbit.

Keempat, sebagai latihan tahap awal. Satu hal yang sering dialami penulis pemula mereka kadang kehabisan kata-kata saat membuat tulisan. Susah sekali untuk melanjutkan tulisan yang baru setengah jadi. Ide-ide nggak mau ke luar lagi. Nah, tulisan di media massa biasanya pendek-pendek. Paling panjang paling-paling empat halaman, yakni untuk naskah opini. Selain itu bisa lebih pendek. Bahkan media massa tertentu dalam kolom aspirasi dari pembacanya hanya butuh sekitar dua paragraph! Ini akan sangat membantu agar kita bisa membuat sebuah tulisan yang utuh dan siap kirim.

Selanjutnya dengan menulis di media massa kita juga cepet mendapat ‘kepastian’. Kepastian layak dimuat atau sebaliknya. Jadi kita tidak perlu lama-lama menunggu. Apa lagi sampe tujuh purnama. Kayak lagu aja yah. Masing-masing media massa memang memiliki batasan tersendiri mengenai kapan naskah dinyatakan tidak layak muat atau pun masih dalam daftar tunggu untuk terbit. Koran yang terbit harian mungkin hanya dua pekan. Jadi setelah dua pekan tulisan kita tidak nongol, berarti kita boleh mengirimkan ke media lain. Tabloid dan majalah bulanan biasanya memberi waktu maksimal dua bulan. Eh, iya, soal honor di koran atau majalah yang lazim setelah tulisan di muat maka kita boleh langsung megambilnya. Mengenai nominalnya sangat bervariatif. Ada yang satu tulisan dihargai puluhan ribu. Ada pula yang dihargai (diberi) honorarium sampai mendekati angka satu juta rupiah. Ini sangat tergantung pada kemapuan finansial dari penerbit media massa tersebut.

Menulis di media massa cetak juga ada kekurangannya. Misalnya, karena mengandalkan keaktualan sebuah informasi maka tulisan yang ada pun sangat cepat tergantikan tulisan lain. Jadi kita juga akan cepat ‘dilupakan’. Mudahnya tulisan kita tidak ‘awet’ . Mungkin hanya dalam kisaran beberapa jam saja media massa itu perlu dibaca. Apa lagi dalam koran harian. Antara jam 6 sampai 2 siang mungkin banyak orang yang pingin membacanya. Harga jualnya pun masih standar. Selepas itu harganya bisa tinggal separuh, petang atau malam hari mungkin sesuai harga beli. Sekedar balik modal. Dan esok hari barangkali koran itu akan dijual kiloan.

Tentang honor juga hanya sekali itu dapat. Tidak ada royalti seperti dalam penerbitan buku. Selain itu menulis di media massa sangat memerlukan kesabaran. Mengingat banyaknya tulisan yang masuk sedangkan kolom yang tersedia terbatas. Sehingga redaktur harus menyeleksi secara ketat dengan berbagai pertimbangan. Makanya bagi kamu yang pingin mencoba menulis di media massa perlu mengetahui criteria yang sering dipakai seorang redaktur untuk ‘menghakimi’ sebuah naskah. Ini akan insya Allah akan dibahs pada bab lain. Kemudian, menulis di media massa perlu bahsa jurnalistik. Jadi ada pakem yang digunakan. Kita tidak boleh semau hati dalam menuliskan ide-ide kita. Sebagus dan semenarik apapun ide kita kalo tidak disampaikan dengan bahasa yang pas, kemungkinan besar akan ditolak oleh redaktur.

0 Response to "Menembus Media Massa"