Latest Supplement

Ujian Sebagai Kemestian; Jalan Menjadi Hamba Pilihan

“…dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah [2]: 177)

Bagaimana aku dapat digolongkan sebagai orang yang beriman dengan penuh kesungguhan jika belum pernah diuji?

Suatu ketika, aku pernah melamar untuk bekerja di suatu instansi pemerintah. Saat itu ada lebih dari seribu orang yang mendaftarkan diri. Padahal yang dibutuhkan hanyalah dua orang saja. Maka untuk menentukan siapa yang berhak diterima, dilakukan ujian seleksi secara bertahap. Tahap awal adalah kelengkapan administrasi. Mereka yang telah lolos kemudian diberi kartu dan nomor ujian sebagai bukti telah terdaftar dan berhak mengikuti ujian.

Setelah diadakan ujian, akhirnya diumumkan siapa yang berhak diterima. Dengan adanya ujian itu mereka yang tidak diterima pun bisa memakluminya. Aku pikir ujian menjadi sarana yang tepat untuk memilih siapa yang lebih berkualitas. Bayangkan jika harus diundi, tentu rasanya kurang adil karena tidak mencerminkan kemampuan orang per orang secara nyata.

Pada kesempatan lain, sewaktu aku masih di bangku sekolah. Ada guru yang rajin memberikan ujian, baik dalam bentuk tugas di rumah, ujian harian di sekolah, atau pun tugas lainnya. Dan ternyata banyak dampak positifnya. Selain sebagai tambahan nilai, ujian-ujian itu juga mendorong siswa untuk terus belajar. Ini berbeda dengan mata pelajaran lain yang gurunya jarang atau bahkan tidak pernah memberikan ujian. Para siswa cenderung mengabaikan belajar.

Dari dua kejadian itu, aku dapat mengerti meskipun secara dangkal tentang mengapa Allah menguji aku. Ketika aku rela ber-Islam, dan mengaku beriman dengan mengucap dua kalimat syahadat. Berarti aku sudah mendaftarkan diri dalam suatu perlombaan, dan aku harus siap dengan segala resikonya. Syahadat kuibaratkan sebagai tiket atau nomor peserta dalam kompetisi meraih keridhaan Allah. Karena memang hanya dengan Islamlah amal ibadah akan diterima. Sedang amal orang kafir layaknya fatamorgana yang kelihatan nyata tapi hakikatnya menipu.

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. “ (An Nur [24]: 39)

Orang-orang kafir bekerja dan beramal. Mereka sudah capek-capek beramal tetapi hasilnya nihil. Apa yang mereka lakukan ibarat mengikuti lomba tanpa memiliki nomor peserta karena tidak terdaftar. Otomatis tidak mungkin akan menjadi pemenang.

Alhamdulillah, aku telah mendapatkan tiket itu. Tiket syahadat itu. Dan semoga Allah menjaganya sampai akhir hayatku.

Tetapi aku sadar pengakuan saja belumah cukup. Terdaftar peserta lomba saja tidak cukup. Harus ada pembuktian, di antaranya dengan beramal shaleh dan ini yang mesti kuingat: melewati berbagai cobaan dengan ridha dan sabar! Sehingga nanti akan terpilih hamba yang benar-benar memiliki iman dalam dirinya.

Begitulah sebagian dari faedah musibah dan cobaan yang diberikan Allah. Dengan cobaan itu akan tersaring, mana hamba-hamba Allah yang benar-benar beriman dan beramal shaleh dengan ikhlas. Dan mana yang hanya berpura-pura saja. Nabi mengibaratkan cobaan adalah seperti api yang memisahkan emas dari tanah dan kotoran.

Dari Ummu Al-Ala’, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku tatkala aku sedang sakit, lalu beliau berkata. ‘Gembirakanlah wahai Ummu Al-Ala’. Sesungguhnya sakitnya orang Muslim itu membuat Allah menghilangkan kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang menghilangkan kotoran emas dan perak”. (Isnadnya Shahih, ditakhrij Abu Daud, hadits nomor 3092)

Jelaslah, mereka yang sanggup melewati ujian hidup yang penuh tekanan. Berarti telah berhasil menyelesaikan perlombaan. Merekalah orang-orang yang menang. Karena dapat melewati proses seleksi sekaligus menjadi orang yang benar-benar beriman dan ridha dengan Allah. Dana akn terlihat pula orang-orang yang hanya berpura-pura. Mengatakan beriman tetapi tidak pernah patuh dan ridha denga ketentuan Allah.

“Sesungguhnya kita milik Allah, dan akan kembali kepada-Nya. Ya, Allah, dampingi aku dalam kemalangan, dan berilah ganti yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad dan Muslim)

0 Response to "Ujian Sebagai Kemestian; Jalan Menjadi Hamba Pilihan"