“Wahai
Amirul mu’minin, apakah yang wajib kita ikuti itu Kitab Allah ataukah
ucapanmu?” seorang wanita dengan penuh keberanian melontarkan pertanyaan kepada
Khalifah Umar yang baru selesai berkhutbah. Wanita itu menanggapi pernyataan
Umar yang melarang memahalkan mahar. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih
dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Seraya menyatakan, “Sesungguhnya kalau
ada seseorang yang memberikan atau diberi mahar lebih banyak dari mahar yang
diberikan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pastilah aku ambil kelebihannya
untuk baitul mal.”
Muslimah
pemberani itu pun kemudian mengutip ayat Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain ,
sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS : an-Nisa’ [4]:20)
Khalifah
Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan
ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,”
ucapnya di depan banyak orang.
Banyak
pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini. Setidaknya ada tiga. Pertama,
betapa Islam mengakomodasi peran perempuan. Mereka punya kesetaraan untuk
mengungkapkan pendapat. Kedua, sebagai khalifah, Umar telah mencontohkan sikap
legawa pemimpin dalam menerima kritikan dari rakyatnya. Umar jujur mengakui
kebenaran ucapan perempuan itu meski di depan orang banyak, tanpa merasa
gengsi. Ketiga, sebagai rakyat, perempuan itu merasa punya tanggungjawab
meluruskan ketika pemimpinnya bersikap keliru. Dan inilah dakwah yang paling
berat, menegur penguasa yang salah.
Rasulullah
SAW pernah bersabda “Jihad yang utama
adalah perkataan yang benar di hadapan penguasa zalim.” (At-Tirmidzi dan
Al-Hakim)
0 Response to "Khalifah 'Umar dan Mahar"